Pertama, ketika Aditjondro membongkar gurita Cikeas itu, kembali kita lihat betapa reaktifnya orang-orang lingkaran SBY “mencoba” mengatasi masalah ini. Ini sebenarnya penyakit dari dalam. Dalam strategi politik, organisasi besar atau pun kecil, orang memang selazimnya menyiapkan perangkat. Ada yang ditugaskan mengumpulkan data dan menganalisa, ada negosiator, dan lain-lain. Dan, ada juga tim buser (moving). Hanya saja, dalam setiap kasus, "tim buser" SBY ini cenderung over lap. Perhatikan saja, dimulai ketika kampaye Pemilu beberapa bulan yang lalu, move yang dilakukan oleh tim ini cenderung terkesan agak kekanak-kanakan, angkuh, dan membikin sakit hati lawan. Memang, risiko sakit hati sulit dihindari. Cuma, bila sudah over, akan ada dendam politik yang tak sudah-sudah. Wajar, jika banyak yang mencoba menggerogoti kekuasaan SBY akhir-akhir ini. Akhirnya, ini tidak baik bagi berjalannya pemerintahan SBY yang efektif.
Kedua, sikap SBY sendiri. Apa-apa cenderung terkesan cepat panik, cengeng, dan mudah “mengadu” kepada rakyat. Dalam setiap fenomena politik, klarifikasi masalah amatlah perlu. Hanya saja, dalam proses klarifikasi itu, seorang SBY semestinya agak menghilangkang kesan yang juga reaktif dari dirinya. Setidaknya, ini untuk mengimbangi reaktif tim politiknya. Dalam situasi politik yang kacau atau agak kacau, rakyat butuh pemimpin yang tenang dan tangguh dalam menghadapi masalah, bukan cengeng. Bila tabiat ini diteruskan, akan semakin mengurangi kredibilitas SBY sendiri di mata rakyatnya.
Ketiga, sudah kita tahu, terbitnya buku Aditjondro Membongkar Gurita Cikeas berkaitan dengan
skandal Bank Century. Selama isu skandal Bank Century ini bergulir,
komitmen SBY dalam hal pemberantasan korupsi mulai dipertanyakan. Banyak hal janggal yang dilihat orang dalam kebijakan SBY mengatasi masalah ini. SBY terkesan pilih-pilih prioritas dari dampak yang akan terkena skandal ini dalam lingkaran pemerintahnya. Malah, ada kesan SBY berusaha merendahkan target dan berjaga diri. Sikap SBY ini semakin membuat banyak pihak semakin “penasaran” untuk mengungkap kemungkinan keterlibatan SBY dalam kemungkinan kesalahan kebijakan (baca: skandal) terhadap Bank Century ini. Padahal, komitmen dan ketegasan SBY dalam memberantas korupsi sangat diperlukan dalam masa-masa ini.
Dan, terakhir, ketika Aditjondro menerbitkan buku Membongkar Gurita Cikeas ini dan mem-booming isunya, saya justru jadi curiga dengan ajakan Aditjondro, “Saya doktor dan SBY doktor. Mari bahas ini secara ilmiah”. Tak mustahil, ini hanya pelenaan saja dari masalah yang sebenarnya. Mengalihkan perhatian, mengalihkan isu, atau bahkan mengambil simpati dari situasi yang terkesan teraniaya. Dan, kita pun mulai terjebak dalam pembahasan buku ini kelas kacangan atau tidak. Kita pun, sedikit demi sedikit, mulai teralihkan dari skandal Bank Century yang sebenarnya ke rasa penasaran akan isi buku yang banyak berupa kliping koran dan data (yang entah valid entah tidak) dari internet ini. Kita pun mulai tersedot dalam arus pusaran serangan Aditjondro dan persiapan SBY menghadapi serangan ini. Kita pun mulai lena dalam lakon isu, bahwa isi buku ini valid atau fitnah.
Entahlah, ini lakon politik tingkat tinggi. Dalam banyak lakon politik sebelumnya, tak jarang kita menemukan SBY mencoba mengalihkan perhatian publik dari sasaran sebenarnya, semisal kasus menaikkan harga BBM dan kasus lainnya. Wallahu a’lam. Kita lihat saja.
Saya bukanlah orang yang berada dalam lingkaran SBY, dan bukan pula musuh SBY. Yang saya tahu dan yang saya ingin, negeri ini mulai berangkat dan bebas (meski pelan-pelan) dari banyak persoalan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dalam lakon kasus ini, saya hanyalah salah satu dari banyak penonton yang duduk di sudut luar panggung, yang mencoba-coba menerka skenario sang dalang. Dan, ketika pertunjukan usai, para pelakon pun masuk “kampus” Ki Dalang. Penonton bubar membawa imajinasi sendiri-sendiri. Kiranya, ini tak lebih seperti lakonnya
Parijs van Java.
Maafkan saya. Makanya, saya sebut sejak awal, saya sebenarnya malas mengulas ini.